Click here for Myspace Layouts

Sabtu, 07 Mei 2011

PERANAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP HAK -HAK KONSUMEN

PERANAN LEMBAGA PENDIDIKAN KONSUMEN TERHADAP HAK HAK KONSUMEN

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)

Dalam upaya pengembangan perlindungan konsumen, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional maka dibentuklah Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Namun demikian, operasional lembaga ini baru terlaksana pada 5 Oktober 2004, sesuai Keppres Nomor 150 Tahun 2004.
BPKN yang dibentuk Pemerintah merupakan lembaga independen yang berfungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia
Aktivitas BPKN yang menonjol saat ini adalah penyusunan grand scenario kebijakan perlindungan untuk memastikan kecenderungan dan prioritas penanganan perlindungan konsumen yang efektif di masa datang, serta peningkatan dan perumusan amandemen Undang-undang Perlindungan Konsumen, sebagai pertimbangan bagi pemerintah untuk penyempurnaan Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Tugas Utama BPKN

1. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen,
2. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen,
3. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen,
4. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat,
5. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen,
6. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pelaku usaha; dan
7. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.


Struktur Organisasi BPKN
Keanggotaan BPKN terdiri dari unsur Pemerintah, Pelaku Usaha, LPKSM, Akademisi dan Tenaga Ahli, yang saat ini keseluruhannya berjumlah 17 anggota serta dibantu beberapa staf sekretariat.
Berkedudukan di Jakarta, BPKN telah menetapkan tugas dan tata kerjanya sesuai Keputusan Ketua BPKN No. 02/BPKN/Kep/12/2004. Dalam memperlancar tugas dan fungsinya untuk pengembangan perlindungan konsumen, BPKN membentuk komisi-komisi, yaitu:
1. Komisi I : Penelitian dan Pengembangan,
2. Komisi II : Informasi, Edukasi dan Pengaduan
3. Komisi III : Kerjasama
4. * Mengapa UU Perlindungan Konsumen (UUPK) Dibutuhkan?
* Apa Saja Hak-Hak Konsumen?
* Potret Pelanggaran Hak-hak Konsumen
* Konsumen Perumahan
* Konsumen jasa ketenagalistrikan
* Konsumen jasa Perbankan
* Konsumen produk Obat-obatan
* Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan
* Upaya Penyelesaian Sengketa Konsumen
* Dasar hukum pengaduan konsumen
5. Mengapa UU Perlindungan Konsumen (UUPK) Dibutuhkan?
Meskipun secara eksplisit hak-hak konsumen belum diatur konstitusi, namun terdapat beberapa pasal dalam UUD 1945 yang mengakomodir hak-hak konsumen, yaitu 1) pasal 28 H ayat (1): Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperolah pelayanan kesehatan; 2) pasal 31 ayat (1): setiap warga negara berhak mendapat pendidikan ; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; 3) pasal 34 ayat (3): negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak;
6. UU Perlindungan Konsumen juga merupakan penjabaran lebih detil dari hak asasi manusia, lebih khusus lagi hak-hak ekonomi yang tercantum dalam Kovenan Internasional Hak Ekosob. Kehadiran UU Perlindungan Konsumen adalah wujud tanggung jawab pemerintah dalam menciptakan sistem perlindungan konsumen, sehingga ada kepastian hukum baik bagi pelaku usaha agar tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab, maupun bagi konsumen, yang merupakan pengakuan harkat dan martabatnya.Mengapa UU Perlindungan Konsumen (UUPK) Dibutuhkan?
7. Meskipun secara eksplisit hak-hak konsumen belum diatur konstitusi, namun terdapat beberapa pasal dalam UUD 1945 yang mengakomodir hak-hak konsumen, yaitu 1) pasal 28 H ayat (1): Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperolah pelayanan kesehatan; 2) pasal 31 ayat (1): setiap warga negara berhak mendapat pendidikan ; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; 3) pasal 34 ayat (3): negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak;
8. UU Perlindungan Konsumen juga merupakan penjabaran lebih detil dari hak asasi manusia, lebih khusus lagi hak-hak ekonomi yang tercantum dalam Kovenan Internasional Hak Ekosob. Kehadiran UU Perlindungan Konsumen adalah wujud tanggung jawab pemerintah dalam menciptakan sistem perlindungan konsumen, sehingga ada kepastian hukum baik bagi pelaku usaha agar tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab, maupun bagi konsumen, yang merupakan pengakuan harkat dan martabatnya.
9. Seperti Apa Isi UUPK?
10. Isi dari UUPK selain asas dan tujuan serta hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, dari segi materi hukum, secara umum UUPK mengatur sekaligus hukum acara/formil dan hukum materiil. Kemusdian UUPK juga mengatur kelembagaan perlindungan konsumen tingkat pusat dalam bentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), maupun di daerah dalam bentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), juga tentang penyelesaian sengketa konsumen dan ketentuan pidananya.
11. Definisi Konsumen dalam UUPK
12. Konsumen adalah setiap orang yang memakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
13. Definsi Pelaku Usaha dalam UUPK
14. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan hukum, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Ada dua jenis pelaku usaha, yaitu perseorangan dan badan usaha. Dalam konteks advokasi konsumen, yang relevan untuk dijadikan ?sasaran? advokasi adalah pelaku usaha dalam bentuk badan usaha. Sedangkan pelaku usaha perseorangan, dalam praktik muncul dalam bentuk pengusaha kecil/lemah, justru masuk kelompok yang juga harus mendapat pembelaan/ advokasi.
15. Definisi Barang dalam UUPK
16. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
17. Definisi Jasa dalam UUPK
18. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan konsumen. Dalam praktik di lapangan, keberadaan jasa dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: 1) Jasa komersial: seperti bank, asuransi, telekomunikasi, transportasi, dll; 2) Jasa non-komersial: seperti jasa pendidikan, jasa pelayanan kesehatan; 3) Jasa professional: seperti dokter, pengacara, notaris, akuntan, arsitek, dll; 4) Jasa layanan public: seperti pembuatan SIM, KTP, Pasport, sertifikat tanah, dll. Sedangkan dari aspek penyedia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) badan hukum privat, baik yang bersifat komersial (Perseroan Terbatas) maupun non-komersial (Yayasan); dan 2) badan hukum publik. UU Perlindungan Konsumen terbatas hanya mencakup jasa yang disediakan oleh badan hukum komersial.
19. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
20. LPKSM adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Ruang lingkup kegiatan LPKSM meliputi: penanganan pengaduan konsumen, pendidikan konsumen, penerbitan majalah/buku konsumen, penelitian dan pengujian, dan advokasi kebijakan.
21. Apa Saja Hak-Hak Konsumen?
22. # Hak Atas Kenyamanan, Keselamatan dan Keamanan
# Hak Untuk Memilih
# Hak Atas Informasi
# Hak Untuk Didengar Pendapat dan Keluhannya
# Hak Untuk Mendapatkan Advokasi
# Hak Untuk Mendapat Pendidikan
# Hak Untuk Tidak Diperlakukan Secara Diskriminatif
# Hak Untuk Mendapatkan Ganti Rugi
# Hak Yang Diatur Dalam Peraturan Perundang-undangan Lainnya
23. Hak Atas Kenyamanan, Keselamatan dan Keamanan
24. Bagi konsumen hak ini harus mencakup aspek kesehatan secara fisik, dan dari perspektif keyakinan/ajaran agama tertentu.
25. Hak Untuk Memilih
26. Merupakan kebebasan konsumen dalam memilih barang dan jasa yang dibutuhkan. Oleh karena itu, barang yang beredar di pasar haruslah terdiri dari beberapa merek untuk suatu barang, agar konsumen dapat memilih.
27. Hak Atas Informasi
28. Bisa dipenuhi dengan cara antara lain, melalui diskripsi barang menyangkut harga dan kualitas atau kandungan barang dan tidak hanya terbatas informasi pada satu jenis produk, tetapi juga informasi beberapa merek untuk produk sejenis, dengan demikian konsumen bisa membandingkan antara satu merk dengan merk lain untuk produk sejenis.
29. Hak Untuk Didengar Pendapat dan Keluhannya
30. Ada dua instrumen dalam mengakomodir hak untuk didengar: Pertama, Pemerintah melalui aturan hukum tertentu dalam bentuk hearing secara terbuka dengan konsumen; Kedua, melalui pembentukan organisasi konsumen swasta dengan atau tanpa dukungan pemerintah. Hak untuk didengar menuntut adanya organisasi konsumen yang mewakili konsumen.
31. Hak Untuk Mendapatkan Advokasi
32. Dengan hak ini, konsumen mendapat perlindungan hukum yang efektif dalam rangka mengamankan implementasi ketentuan perlindungan konsumen dan menjamin keadilan sosial. Hak ini dapat dipenuhi dengan cara: 1) Konsultasi hukum, diberikan pada konsumen menengah ke bawah. Bentuk kegiatan ini dapat dilakukan oleh organisasi konsumen dan atau instansi pemerintah yang mengurusi perlindungan konsumen; 2) Menggunakan mekanisme tuntutan hukum secara kolektif (class action); 3) Adanya keragaman akses bagi konsumen individu berupa tersedianya lembaga penyelesaian sengketa konsumen, baik yang didirikan oleh pemerintah berupa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di setiap pemerintah kota / kabupaten.
33. Hak Untuk Mendapat Pendidikan
34. Definisi dasar hak ini adalah konsumen harus berpendidikan secukupnya, dapat dilakukan baik melalui kurikulum dalam pendidikan formal maupun melalui pendidikan informal yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Pemenuhan hak untuk mendapat pendidikan juga menjadi kontribsi dan tanggung jawab pelaku usaha.
35. Hak Untuk Tidak Diperlakukan Secara Diskriminatif
36. Tindakan diskriminatif secara sederhana adalah adanya disparitas, adanya perlakukan yang berbeda untuk pengguna jasa/produk, dimana kepada konsumen dibebankan biaya yang sama. Oleh karena itu adanya pelaku usaha yang menyediakan beberapa sub kategori pelayanan dengan tarif yang berbeda-beda, susuai dengan tarif yang dibayar konsumen tidak dapat dikatakan diskriminatif.
37. Hak Untuk Mendapatkan Ganti Rugi
38. Mendapatkan ganti rugi harus dipenuhi oleh pelaku usaha atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan si pelaku usaha tersebut. Bentuk ganti eugi dapat berupa: 1) pengembalian uang; 2) penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya; 3) perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan (pasal 19 Ayat (2) UUPK).
39. Hak Yang Diatur Dalam Peraturan Perundang-undangan Lainnya
40. Selain hak-hak yang ada dalam UU PK, dalam UU lain juga diatur hak-hak konsumen, seperti UU Kesehatan. Oleh karena itu dimungkinkan adanya hak konsumen tambahan sesuai dengan tipikal sektor masing-masing.
41. Potret Pelanggaran Hak-hak Konsumen
42. Pelanggaran hak-hak konsumen di Indonesia merupakan hal yang jamak, masih kita jumpai sehari-hari kasus keracunan makanan dan kecelakaan yang menempatkan konsumen sebagai korban. Beberapa sebab terjadinya pelanggaran hak konsumen adalah rendahnya tanggung jawab pelaku usaha, tidak maksimalnya regulasi pemerintah, dan mandulnya penegakkan hukum.
43. Pelanggaran hak-hak konsumen dapat berupa pelanggaran bersifat substantif maupun prosedural sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Konsumen atau berbagai UU sektoral.
44. Konsumen Perumahan
45. Ada dua kelompok pengaduan konsumen perumahan, yaitu: 1) sebagai akibat telah terjadinya pelanggaran hak-hak individu konsumen perumahan. Seperti, mutu bangunan di bawah standar, ukuran luas tanah tidak sesuai, dll; 2) sebagai akibat pelanggaran hak-hak kolektif konsumen perumahan. Seperti, tidak dibangunnya fasilitas sosial / umum, sertifikasi, rumah fiktif, banjir dan soal kebenaran klaim / informasi dalam iklan / brosur dan pameran perumahan.
46. # Fasilitas Sosial (Fasos) dan Fasilitas Umum (Fasum)
# Penjualan Rumah Fiktif
47. Fasilitas Sosial (Fasos) dan Fasilitas Umum (Fasum)
48. Fasilitas sosial dan fasilitas umum yang diiklankan dalam sumber informasi bagi konsumen, yaitu iklan, brosur perumahan dan pameran perumahan terkadang tidak didapat sebagaimana mestinya, banyak fasilitas yang diperjanjikan dalam brosur pada akhirnya hanya menjadi promosi semata dari pengembang. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap konsumen perumahan yang dilakukan oleh pengembang (jika menjadi penangggung jawab membangun fasilitas umum) maupun oleh Pemda setempat (jika informasi tersebut bersumber pada dokumen resmi yang dikeluarkan Pemda).
49. Menghadapi persoalan diatas dibutuhkan dua kebijakan pemerintah dalam rangka melindungi kepentingan konsumen perumahan. 1) kebijakan yang bersifat komplementer. Artinya, kebijakan yang berisi ketentuan hukum yang memungkinkan konsumen mendapatkan informasi tentang fasilitas umum yang harus disediakan pengembang; 2) kebijakan yang bersifat kompensatoris. Artinya, terhadap praktik-praktik pemasaran dan pembangunan perumahan yang menimbulkan kerugian bagi pihak konsumen dapat menuntut ganti rugi kepada pengembang.
50. Penjualan Rumah Fiktif
51. Korban kasus penjualan rumah fiktif biasanya adalah golongan masyarakat yang benar-benar membutuhkan rumah yang umumnya kelompok masyarakat menengah ke bawah. Ada dua instrumen hukum yang dapat dilakukan calon konsumen yang menjadi korban kasus perumahan fiktif untuk menuntut pengembalian uang yang telah disetorkan kepada pengembang: 1) seperti diatur dalam Pasal 98 KUHAP: ?Jika seuatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan dalam pemeriksaan perkara pidana oleh PN menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu?. Artinya, kerugian bagi orang lain yang dimaksud pasal itu termasuk pula kerugian pihak korban. Dan penggabungan perkara gugatan pada perkara pidana yang dimaksud adalah agar perkara gugatan tersebut pada suatu ketika yang sama diperiksa sekaligus; 2) berdasarkan putusan dalam perkara pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, para korban secara terpisah dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan untuk menuntut ganti rugi dengan tuntutan pengembang diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun untuk proses yang lebih efektif beracara dalam advokasi konsumen kasus rumah fiktif adalah dengan menggunakan mekanisme gugatan perwakilan kelompok (class action).
52. Konsumen jasa ketenagalistrikan
53. Dua ketidakadilan dalam penyediaan ketenagalistrikan di Indonesia: 1) dalam bentuk, baru ada sekitar 54 persen masyarakat Indonesia yang dapat mengakses listrik; 2) masyarakat yang sudah mendapatkan aliran listrik, sebagai konsumen hak-hanya masih sering terabaikan karena seringnya pemadaman, voltase turun-naik, dan akurasi pencatatan meter.
54. # Pencatatan Meter
# Pemadaman tanpa pemberitahuan
# Voltase tidak stabil
# Penerangan Jalan Umum
55. Pencatatan Meter
56. Permasalahan pencatatan meter mendominasi kasus yang dialami konsumen. Biasanya kesalahan petugas dari PLN ternyata dibebankan kepada konsumen, dalam bentuk: 1) konsumen membayar tidak sesuai dengan pamakaian; 2) beban tagihan menjadi menumpuk, sehingga memberatkan konsumen.
57. Pemadaman tanpa pemberitahuan
58. Kerugian konsumen akibat pemadaman, dalam bentuk : 1) biaya, karena akibat pemadaman konsumen harus mengeluarkan biaya ekstra, seperti beli lilin, dll; 2) hilangya potensi pendapatan, seperti usaha photo kopy misalnya, karena pemadaman, usahanya terhambat; 3) kerusakan alat-alat elektronik, atau usia alat-alat elektronik menjadi tidak tahan lama.
59. Pemadaman yang terjadi karena sebab yang masih dalam kendali PLN, mestinya ada kompnsasi financial bagi konsumen.
60. Voltase tidak stabil
61. Voltase tidak stabil adalah bentuk pelanggaran hak-hak konsumen, khususnya hak atas keamanan dan keselamatan dan hak konsumen untuk mendapatkan barang dan atau jasa yang sesui dengan standar sebagaimana yang telah dijanjikan oleh pelaku usaha. Contoh: masyarakat mendapatkan tenaga listrik jauh di bawah atau di atas yang sudah diumumkan PLN.
62. Penerangan Jalan Umum
63. Pajak Penerangan Jalan Umum dibebani pada konsumen PLN, namun dalam kenyataannya tidak semua konsumen PLN menikmati dari pajak yang telah mereka bayar. Keluarnya Keppres No. 89 tahun 2002 tentang Harga Jual Tenaga Listrik tahun 2003, ada keharusan dari PT PLN untuk mendeklare Tingkat Mutu Pelayanan (TMP) di masing masing cabang untuk penerangan jalan, meliputi : 1) frekuensi pemadaman per 3 bulan; 2) lama pemadaman per 3 bulan; dan 3) akurasi pencatatan meter. Jika dalam realisasi, PLN tidak dapat memenuhi TMP yang dideklare, PT PLN harus membayar denda/penalty kepada konsumen sebesar 10 persen dari biaya beban. Namun, dalam praktik tidak banyak cabang PLN yang mensosialisasikan TMP kepada konsumen.
64. Konsumen jasa Perbankan
65. Dalam praktik merebut nasabah cara yang dilakukan bank tidak diimbangi dengan memberikan informasi yang utuh tentang produk jasa perbankan tersebut, sehingga muncul berbagai keluhan konsumen jasa perbankan.
66. # Produk ATM
# Produk Kartu kredit
67. Produk ATM
68. Ada empat persoalan dari Produk ATM (Automated Teller Machine), yaitu: 1) keberanan iklan ATM, ketika mau menggunakan ATM dalam keadaan tidak berfungsi dan tidak ada penjelasan dari bank; 2) perjanjian standar dalam aplikasi permohonan ATM yang berat sebelah; 3) informasi tentang produk ATM sangat minim. Beberapa pemegang ATM mengeluh, uang yang ditelan boks ATM, namun saldo rekening konsumen tetap di-debet; 4) soal mekanisme penyelesian komplain pemegang ATM. Konsumen tidak merasa menarik tunai melalui ATM, tetapi didapati saldo rekening konsumen berkurang. Dalam kasus seperti ini, posisi konsumen sangat lemah, karena secara teknis konsumen tidak mungkin meng-counter pembuktian yang disodorkan pihak bank penerbit ATM.
69. Produk Kartu kredit
70. Persoalan yang sering dikeluhkan konsumen kartu kredit antara lain: 1) Iklan. Ikaln yang gencar dilakukan umumnya berkesan menyenagkan konsumen. Padahal, tersembunyi maksud untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari kantung konsumen; Kedua, perjanjian standar yang isinya berat sebelah. Setiap pemohon kartu kredit, terlebih dahulu harus mengisi aplikasi permohonan kartu kredit yang dibuat dalam bentuk standar, pemohon tidak ada alternatif lain, selain setuju dengan persyaratan yang ditentukan secara sepihak oleh bank; 3) besaran dan cara menghitung bunga/penalty. Tidak banyak konsumen kartu kredit yang tahu atau peduli, bagaimana bank mengenakan biaya terhadap konsumen, sehingga sangat sulit untuk konsumen ikut mengoreksi jika terjadi kekeliruan dalam penagihan.
71. Konsumen produk Obat-obatan
72. Beragam persoalan yang dihadapi konsumen produk obat-obatan di Indonesia: Dari persoalan makro menyangkut peran pemerintah dalam pengadaan obat murah, persoalan hak kekayaan intelektual obat-obat paten yang membuat harga obat melambung, soal tata niaga produk obat yang syarat dengan kartel, keberadaan obat palsu, penggunaan obat yang tidak rasional, sampai soal belum optimalnya apoteker, khususnya dalam pelayanan kefarmasian kepada masyarakat.
73. # Konsumsi obat yang tidak rasional
# Maraknya obat palsu
# Tidak optimalnya peran apoteker
74. Konsumsi obat yang tidak rasional
75. Temuan Purnawati S. Pujiarto (konsultan kesehatan WHO Indonesia), terbukti bahwa 69,6 % anak-anak yang sakit di Indonesia, diberikan lebih dari 4 macam jenis obat, sementara 35,3 % anak-anak yang sakit mendapat lima macam obat. Padahal rata-rata penyakit anak tersebut, bisa sembuh tanpa harus ke dokter. Ini menjadi bukti tidak rasionalnya konsumsi obat yang diberikan oleh dokter. Ada dua potensi pelanggaran hak-hak konsumen dari konsumsi obat yang tidak rasional, yaitu pelanggaran hak atas informasi dan hak atas keamanan.
76. Maraknya obat palsu
Data WHO menyebutkan, peredaran obat palsu di negara berkembang, termasuk Indonesia, mencapai 20 % – 40 %. Praktik peredaran obat palsu terjadi karena lemahnya pengawasan pemerintah dan juga karena rendahnya daya beli masyarakat.
77. Tidak optimalnya peran apoteker
Apotik berbeda dengan toko obat, jika pasien menebus obat di apotik, pasien mendapatkan dua bentuk produk, yaitu obat tersebut dan informasinya. Namun selama ini, tidak banyak konsumen yang memperolah informasi obat ketika menebus obat di apotek, karena tidak ada apoteker ketika menebus obat. Hal ini merugikan konsumen, karena selain tidak mendapat informasi obat dari personil yang kompeten, juga tidak dapat berkonsultasi menyangkut obat yang akan dikonsumsi, baik manfaat obat maupun resikonya.
78. Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan
79. Ada dua kategori pelayanan kesehatan: 1) pelayanan kesehatan tingkat dasar, hal ini menjadi tanggung jawab Pemerintah; 2) pelayanan kesehatan lanjutan, disedikan pemerintah juga disediakan rumah sakit swasta.
80. Beberapa kategori pengaduan pelayanan kesehatan: Pertama, persoalan non-medik (mahalnya biaya rawat inap, soal keamanan di rumah sakit); Kedua, persoalan medik (baik yang dilakukan oleh dokter, maupun oleh profesi penunjang, seperti perawat, bidan).
81. # Malpraktik profesi dokter
# Penggunaan alat canggih yang tidak proporsional dan rasional
# Dokter yang merangkap sebagai ”pedagang”
82. Malpraktik profesi dokter
Malparktik profesi dokter, yaitu penyimpangan yang dilakukan dokter dalam menjalankan profesinya, dari standar profesi yang ada yang menimbulkan kerugian di pihak pasien.
83. Hak-Hak Konsumen – Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan
Penggunaan alat canggih yang tidak proporsional dan rasional
Penggunaan alat canggih dalam praktek kedokteran terkadang berlebihan karena sebenarnya hal itu bukan kebutuhan pasien, melainkan usaha rumah sakit untuk menutupi beban biaya investasi pengadaan barang tersebut, jadi pasien menjadi obyek pendapatan semata. Selain itu juga minimnya info yang diberikan tentang alat ersebut kepada pasien makin merugikan pasien.
84. Dokter yang merangkap sebagai ”pedagang”
Dokter yang menjadi pedagang obat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan pada akhirnya pasien yang dirugikan, karena harus mengkonsumsi obat lebih banyak sehingga biaya kesehatan menjadi membengkak.
85. Upaya Penyelesaian Sengketa Konsumen
86. Ada berbagai macam usaha yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa konsumen, namun sebelum mengambil keputusan untuk melakukan tindakan/aksi terhadap terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, terlebih dahulu harus jelas hasil (outcame) apa yang diharpakan konsumen dari tindakan tersebut.
87. # Mengajukan pengaduan kepada Asosiasi Industri
# Membuat pengaduan ke Pelaku Usaha
# Menulis surat pembaca di media cetak
# Membuat pengaduan ke LPKSM
# Membuat Pengaduan / laporan tindak pidana ke Kepolisian
# Mengirimkan somasi ke Pelaku Usaha
# Mengajukan gugatan secara perorangan
# Mengajukan Gugatan Perdata secara Perwakilan Kelompok (Class Action)
# Meminta LPKSM mengajukan Gugatan Legal Standing
# Penyelesian sengketa konsumen Melalui Badan Penyelaian Sengketa Konsumen (BPSK)
# Mengajukan Pengaduan kepada Komisi Ombudsman Nasional
# Mengajukan Pengaduan kepada Komisi Periklanan Indonesia
# Mengajukan Pengaduan kepada Organisasi Profesi
88. Mengajukan pengaduan kepada Asosiasi Industri
Lembaga yang juga dapat menjadi alternatif konsumen menyampaikan pengaduan adalah Assosiasi Industri. Ada dua pendekatan: 1) fungsi penanganan pengaduan konsumen langsung ditangani pengurus assosiasi; atau 2) assosiasi yang membentuk lembaga khusus yang berfungsi menangani sengketa konsumen, seperti assosiasi industri asuransi membentuk Badan Mediasi Asuransi Indonesia.
89. Membuat pengaduan ke Pelaku Usaha
Pengaduan ke pelaku usaha penting dilakukan konsumen terlebih dahulu, karena dalam banyak kasus antara konsumen dengan pelaku usaha berawal dari burukya komunikasi, termasuk minimnya pemahaman konsumen tentang produk yang dikonsumsi, dengan mengadu langsung ke pelaku usaha, pada umunya dapat diselesaikan tanpa perlu ada bantuan / intervensi pihak ketiga.
90. Menulis surat pembaca di media cetak
Dengan menulis pengalaman buruk di media cetak tentang suatu produk tingkat penyelesaian sangat rendah karena tergantung kepedulian dari pelaku usaha aka nama baiknya. Namun cara ini baik untuk pendidikan konsumen lain agar mengetahui info barang tersebut.
91. Membuat pengaduan ke LPKSM
Membuat pengaduan ke LPKSM dapat dengan berbagai akses, seperti: surat, telepon, datang langsung, e-mail, SMS. Agar ditindak lanjuti, pengaduan konsumen harus dilakukan tertulis atau datang langsung ke LPKSM dengan mengisi form pengaduan konsumen. Mekanisme LPKSM dalam menyelesaikan sengketa konsumen adalah dengan mengupayakan tercapainya kesepakatan antara konsumen dengan pelaku usaha melalui mediasi atau konsiliasi.
92. Membuat Pengaduan / laporan tindak pidana ke Kepolisian
Dalam beberapa kasus pelanggaran terhadap hak konsumen ada yang berdimensi pidana, oleh karena itu dapat diadukan ke Kepolisian. Laporan / pengaduan ke kepolisian dapat menjadi dasar bagi kepolisian untuk mengambil langkah hukum / polisional sehingga korban tidak berjatuhan lagi.
93. Mengirimkan somasi ke Pelaku Usaha
Somasi selain berisi teguran, juga memberi kesempatan terakhir kepada tergugat untuk berbuat sesuatu dan atau untuk menghentikan suatu perbuatan sebagaimana tuntutan pihak penggugat. Cara ini lebih efektif, terlebih ketika menyangkut kepentingan publik, akan sangat bagus somasi dilakukan kolektif dan terbuka.
94. Mengajukan gugatan secara perorangan
Mengajukan gugatan perorangan untuk masalah sengketa konsumen sangat tidak efektif, karena biaya akan sangat mahal dan lamanya waktu penyelesaian.
95. Mengajukan Gugatan Perdata secara Perwakilan Kelompok (Class Action)
Gugatan Perwakilan kelompok merupakan cara yang praktis, dimana gugatan secara formal cukup diwakili beberapa korban sebagai wakil kelas. Namun apabila gugatan dikabulkan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, korban lain yang secara formal tidak ikut menggugat dapat langsung menuntut ganti rugi berdasarkan putusan pengadilan tersebut. Selain dalam UU Perlindungan konsumen, gugatan class action juga diatur dalam UU Jasa Konstruksi. Gugatan ini baik dipakai untuk kasus-kasus pelanggaran hak konsumen secara massal
96. Meminta LPKSM mengajukan Gugatan Legal Standing
Menurut pasal 46 Ayat (1) Huruf (c) UU PK menyebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dapat mengajukan gugatan legal standing dengan memenuhi syarat, yaitu: 1) Berbentuk badan hukum atau yayasan; yang 2) Dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen; dan 3) Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
97. Penyelesian sengketa konsumen Melalui Badan Penyelaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Lembaga ini pendiriannya menjadi tanggungjawab pemerintah, didirikan ditiap pemerintahan Kota/Daerah tingkat II. Tujuan BPSK untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan (Pasal 49 Ayat (1) UUPK) melalui cara mediasi atau arbitrase atau konsiliasi yang anggotanya terdiri dari unsur: 1) Pemerintah; 2) Lembaga konsumen; dan 3) Pelaku usaha (Pasal 49 Ayat (3) UUPK).
98. tugas dan wewenang BPSK, meliputi: 1) penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi/arbitrase/konsiliasi; 2) konsultasi perlindungan konsumen; 3) pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; 4) melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam UUPK; 5) menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen; 6) meneliti dan memeriksa sengketa perlindungan konsumen; 7) memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran; memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap UUPK; 9) meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang sebagaimana
99. Mengajukan Pengaduan kepada Komisi Ombudsman Nasional
Pengaduan kepada Komisi Ombudsman Nasional dapat dilakukan jika seorang mendapat pelayanan buruk dari lembaga pemerintah. Namun KON memiliki kelemahan, yaitu kewenangannya terbatas meminta klarifikasi dan memberikan rekomendasi, tanpa memiliki kewenangan eksekusi. Masalahnya adalah ketika rekomendasi Komisi tidak ditindaklanjuti oleh lembaga yang diadukan masyarakat, komisi juga tidak dapat berbuat apa-apa.
100. Mengajukan Pengaduan kepada Komisi Periklanan Indonesia
Terkait iklan di bidang perumahan, seperti klaim iklan berlebihan, penggunaan figur anak-anak dalam iklan perumahan, konsumen atau lembaga konsumen dapat mengutarakan keluhannya ke Komisi Periklanan Indonesia, yaitu lembaga “independen” yang dibentuk komunitas pengusaha periklanan yang tergabung dalam PPPI yang secara fungsional menampung keluhan atau pengaduan masyarakat terhadap visualisasi tayangan iklan. Namun, lembaga ini belum efektif disebabkan: 1) Independensi komisi ini diragukan; 2) Tidak semua pengusaha periklanan tergabung dalam PPPI;
101. Mengajukan Pengaduan kepada Organisasi Profesi
Dalam kasus sengketa konsumen jasa profesional, apabila jenis pelanggaran masih dalam koridor kode etik, konsumen dapat mengadukan kepada Majelis Kehormatan Etik masing-masing profesi. Sebagai contoh, jika ada indikasi notaris melakukan malpraktik profesi yang potensial merugikan kepentingan masyarakat, sebagai pengguna jasa, masyarakat dapat mengutarakan keberatan/pengaduan Dewan Etik Ikatan Notaris Indonesia.
102. Dasar hukum pengaduan konsumen
103. # Perbuatan Melawan Hukum (Onrecchmatige Daad)
# Wansprestasi/Cidera
# Kelebihan dan kekurangan berbagai saluran pengaduan konsumen
104. Perbuatan Melawan Hukum (Onrecchmatige Daad)
Perbuatan melawan hukum yang diatur pasal 1365 KUHPerdata selalu dijadikan pijakan dalam gugatan perdata. Isinya adalah tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Perbuatan melawan hukum dapat dipahami baik dalam arti sempit (terbatas kepada pelanggaran undang-undang), maupun dalam arti luas (meliputi pelanggaran terhadap undang-undang dan perbuatan manusia yang melanggar hak-hak orang lain). Empat unsur yang harus dipenuhi dalam konstruksi hukum perbuatan melawan hukum: 1) Adanya perbuatan melanggar hukum; 2) Menimbulkan kerugian; 3) Adanya unsur kesalahan, dan 4) Ada hubungan kausalitas antara perbuatan hukum dan kerugian yang timbul.
105.Wansprestasi/Cidera
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa belanda yang berarti prestasi buruk. Wansprestasi dapat berupa: 1) Tidak melaksanakan apa yang sudah diperjanjikan; 2) Melaksanakan yang diperjanjikan tidak sebagaimana mestinya; 3) Melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; dan 4) Melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
106.Persoalan di lapangan adalah pengertian perjanjian dalam wanprestasi terbatas pada perjanjian yang ditandatangani kedua belah pihak. Tidak termsuk korespondensi, brosur, leaflet yang kadang juga berisi janji-janji pelaku usaha kepada konsumen
107.Kelebihan dan kekurangan berbagai saluran pengaduan konsumen.

Daftar Pustaka :

http://sukses-since.blogspot.com/2011/04/badan-perlindungan-konsumen-nasional.html

UNDANG-UNDANG ANTI MONOPOLI DAN DAMPAKNYA TERHADAP USAHA KECIL DAN MENENGAH

Undang-undang Anti Monopoli

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :
a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;
c. bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional;
d. bahwa untuk mewujudkan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, atas usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat perlu disusun Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;

Mengingat :
1. Pasal 5 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIAMEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT.


BAB I

KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
a. Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
b. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
c. Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa.
d. Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
e. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
f. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
g. Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis.
h. Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.
i. Pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan atau jasa.
j. Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.
k. Struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang aspek-aspek yang memiliki pengaruh penting terhadap perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar, antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar, keragaman produk, sistem distribusi, dan penguasaan pangsa pasar.
l. Perilaku pasar adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam kapasitasnya sebagai pemasok atau pembeli barang dan atau jasa untuk mencapai tujuan perusahaan, antara lain pencapaian laba, pertumbuhan aset, target penjualan, dan metode persaingan yang digunakan.
m. Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.
n. Harga pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan atau jasa sesuai kesepakatan antara para pihak di pasar bersangkutan.
o. Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.
p. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.


BAB II

ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Pasal 3
Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk:
a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.


BAB III

PERJANJIAN YANG DILARANGBagian PertamaOligopoli
Pasal 4
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian KeduaPenetapan Harga
Pasal 5
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
Pasal 6
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
Pasal 7
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 8
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian KetigaPembagian Wilayah
Pasal 9
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian KeempatPemboikotan
Pasal 10
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:
a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau
b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
Bagian KelimaKartel
Pasal 11
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian KeenamTrust
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian KetujuhOligopsoni
Pasal 13
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian KedelapanIntegrasi Vertikal
Pasal 14
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
Bagian KesembilanPerjanjian Tertutup
Pasal 15
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau
b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Bagian KesepuluhPerjanjian Dengan Pihak Luar Negeri
Pasal 16
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.


BAB IV

KEGIATAN YANG DILARANG
Bagian PertamaMonopoli
Pasal 17
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian KeduaMonopsoni
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian KetigaPenguasaan Pasar
Pasal 19
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b. atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 21
Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian KeempatPersekongkolan
Pasal 22
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 23
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 24
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.


BAB V

POSISI DOMINAN
Bagian PertamaUmum
Pasal 25
(1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
(2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian KeduaJabatan Rangkap
Pasal 26
Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan–perusahaan tersebut:
a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau
b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau
c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian KetigaPemilikan Saham
Pasal 27
Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian KeempatPenggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan
Pasal 28
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud ayat dalam (2) pasal ini, diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
(1) Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambilalihan tersebut.
(2) Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan atau nilai penjualan serta tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


BAB VI

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
Bagian PertamaStatus
Pasal 30
(1) Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi.
(2) Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain.
(3) Komisi bertanggung jawab kepada Presiden.
Bagian KeduaKeanggotaan
Pasal 31
(1) Komisi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang anggota.
(2) Anggota Komisi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Masa jabatan anggota Komisi adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4) Apabila karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan dalam keanggotaan Komisi, maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru.
Pasal 32
Persyaratan keanggotaan Komisi adalah:
1. warga negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;
2. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
3. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
4. jujur, adil, dan berkelakuan baik;
5. bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia;
6. berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan atau ekonomi;
7. tidak pernah dipidana;
8. tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan; dan
9. tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha.
Pasal 33
Keanggotaan Komisi berhenti, karena :
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
d. sakit jasmani atau rohani terus menerus;
e. berakhirnya masa jabatan keanggotaan Komisi; atau
f. diberhentikan.
Pasal 34
(1) Pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Komisi dibantu oleh sekretariat.
(3) Komisi dapat membentuk kelompok kerja.
(4) Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja diatur lebih lanjut dengan keputusan Komisi.
Bagian KetigaTugas
Pasal 35
Tugas Komisi meliputi:
a. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
b. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
c. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
d. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36;
e. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
f. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini;
g. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Bagian KeempatWewenang
Pasal 36
Wewenang Komisi meliputi:
1. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
2. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
3. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;
4. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini;
5. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
6. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
7. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
8. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Bagian KelimaPembiayaan
Pasal 37
Biaya untuk pelaksanaan tugas Komisi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.


BAB VII

TATA CARA PENANGANAN PERKARA
Pasal 38
(1) Setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang ini dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan identitas pelapor.
(2) Pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap Undang-undang ini dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan menyertakan identitas pelapor.
(3) Identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dirahasiakan oleh Komisi.
(4) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Komisi.
Pasal 39
(1) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2), Komisi wajib melakukan pemeriksaan pendahuluan, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima laporan, Komisi wajib menetapkan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan.
(2) Dalam pemeriksaan lanjutan, Komisi wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang dilaporkan.
(3) Komisi wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dari pelaku usaha yang dikategorikan sebagai rahasia perusahaan.
(4) Apabila dipandang perlu Komisi dapat mendengar keterangan saksi, saksi ahli, dan atau pihak lain.
(5) Dalam melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (4), anggota Komisi dilengkapi dengan surat tugas.
Pasal 40
(1) Komisi dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan terjadi pelanggaran Undang-undang ini walaupun tanpa adanya laporan.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 39.
Pasal 41
(1) Pelaku usaha dan atau pihak lain yang diperiksa wajib menyerahkan alat bukti yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan.
(2) Pelaku usaha dilarang menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan dan atau pemeriksaan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), oleh Komisi diserahkan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 42
Alat-alat bukti pemeriksaan Komisi berupa:
a. keterangan saksi,
b. keterangan ahli,
c. surat dan atau dokumen,
d. petunjuk,
e. keterangan pelaku usaha.
Pasal 43
(1) Komisi wajib menyelesaikan pemeriksaan lanjutan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dilakukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1).
(2) Bilamana diperlukan, jangka waktu pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(3) Komisi wajib memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang ini selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2).
(4) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus dibacakan dalam suatu sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha.
Pasal 44
(1) Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi.
(2) Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
(3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dianggap menerima putusan Komisi.
(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Pasal 45
(1) Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keberatan tersebut.
(2) Pengadilan Negeri harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut.
(3) Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(4) Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi diterima.
Pasal 46
(1) Apabila tidak terdapat keberatan, putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
(2) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.


BAB VIII

SANKSI
Bagian PertamaTindakan Administratif
Pasal 47
(1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau
b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
c. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau
d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
f. penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
g. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
Bagian KeduaPidana Pokok
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Bagian KetigaPidana Tambahan
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.


BAB IX

KETENTUAN LAIN
Pasal 50
Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah:
a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau
c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau
d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau
g. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
h. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.


BAB X

KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
(1) Sejak berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Pelaku usaha yang telah membuat perjanjian dan atau melakukan kegiatan dan atau tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang ini diberi waktu 6 (enam) bulan sejak Undang-undang ini diberlakukan untuk melakukan penyesuaian.


BAB XI

KETENTUAN PENUTUP
Pasal 53
Undang-undang ini mulai berlaku terhitung 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakartapada tanggal 5 Maret 1999PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakartapada tanggal 5 Maret 1999MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARAREPUBLIK INDONESIA
ttd
AKBAR TANDJUNG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 33
PENJELASANATASUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 5 TAHUN 1999TENTANG
LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGANUSAHA TIDAK SEHAT
UMUM
Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat. Kemajuan pembangunan yang telah dicapai di atas, didorong oleh kebijakan pembangunan di berbagai bidang, termasuk kebijakan pembangunan bidang ekonomi yang tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Rencana Pembangunan Lima Tahunan, serta berbagai kebijakan ekonomi lainnya.
Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi masih banyak pula tantangan atau persoalan, khususnya dalam pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan, seiring dengan adanya kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-an.
Peluang-peluang usaha yang tercipta selama tiga dasawarsa yang lalu dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan usaha swasta selama periode tersebut, disatu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan Pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.
Fenomena di atas telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan yang terkait antara pengambil keputusan dengan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga lebih memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik.
Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing.
Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas, menuntut kita untuk mencermati dan menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.
Oleh karena itu, perlu disusun Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat.
Undang-undang ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945.
Agar implementasi undang-undang ini serta peraturan pelaksananya dapat berjalan efektif sesuai asas dan tujuannya, maka perlu dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yaitu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh pemerintah dan pihak lain, yang berwenang melakukan pengawasan persaingan usaha dan menjatuhkan sanksi. Sanksi tersebut berupa tindakan administratif, sedangkan sanksi pidana adalah wewenang pengadilan.
Secara umum, materi dari Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini mengandung 6 (enam) bagian pengaturan yang terdiri dari :
1. perjanjian yang dilarang;
2. kegiatan yang dilarang;
3. posisi dominan;
4. komisi Pengawas Persaingan Usaha;
5. penegakan hukum;
6. ketentuan lain-lain.
Undang-undang ini disusun berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta berasaskan kepada demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum dengan tujuan untuk : menjaga kepentingan umum dan melindungi konsumen; menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat, dan menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang; mencegah praktek-praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha; serta menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1Cukup jelas
Angka 2Cukup jelas
Angka 3Cukup jelas
Angka 4Cukup jelas
Angka 5Cukup jelas
Angka 6Cukup jelas
Angka 7Cukup jelas
Angka 8Cukup jelas
Angka 9Cukup jelas
Angka 10Cukup jelas
Angka 11Cukup jelas
Angka 12Cukup jelas
Angka 13Cukup jelas
Angka 14Cukup jelas
Angka 15Cukup jelas
Angka 16Cukup jelas
Angka 17Cukup jelas
Angka 18Cukup jelas
Angka 19Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Perjanjian dapat bersifat vertikal atau horizontal. Perjanjian ini dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi persaingan dengan cara membagi wilayah pasar atau alokasi pasar. Wilayah pemasaran dapat berarti wilayah negara Republik Indonesia atau bagian wilayah negara Republik Indonesia misalnya kabupaten, provinsi, atau wilayah regional lainnya. Membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar berarti membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok barang, jasa, atau barang dan jasa, menetapkan dari siapa saja dapat memperoleh atau memasok barang, jasa, atau barang dan jasa.
Pasal 10
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Pasal 14
Yang dimaksud dengan menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi atau yang lazim disebut integrasi vertikal adalah penguasaan serangkaian proses produksi atas barang tertentu mulai dari hulu sampai hilir atau proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu. Praktek integrasi vertikal meskipun dapat menghasilkan barang dan jasa dengan harga murah, tetapi dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yang merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat. Praktek seperti ini dilarang sepanjang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
Pasal 15
Ayat (1) Yang termasuk dalam pengertian memasok adalah menyediakan pasokan, baik barang maupun jasa, dalam kegiatan jual beli, sewa menyewa, sewa beli, dan sewa guna usaha (leasing).
Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a Cukup jelas
Huruf b Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a Cukup jelas
Huruf b Yang dimaksud dengan pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang mempunyai kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar bersangkutan.
Huruf cCukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Pasal 19
Huruf aMenolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu tidak boleh dilakukan dengan cara yang tidak wajar atau dengan alasan non- ekonomi, misalnya karena perbedaan suku, ras, status sosial, dan lain-lain.
Huruf bCukup jelas
Huruf cCukup jelas
Huruf dCukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya adalah pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk memperoleh biaya faktor-faktor produksi yang lebih rendah dari seharusnya.
Pasal 22
Tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau untuk menyediakan jasa.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Huruf aCukup jelas
Huruf bCukup jelas
Huruf cCukup jelas
Ayat (2)
Huruf aCukup jelas
Huruf bCukup jelas
Pasal 26
Huruf aCukup jelas
Huruf b Perusahaan-perusahaan memiliki keterkaitan yang erat apabila perusahaan-perusahaan tersebut saling mendukung atau berhubungan langsung dalam proses produksi, pemasaran, atau produksi dan pemasaran.
Huruf cCukup jelas
Pasal 27
Huruf aCukup jelas
Huruf bCukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)Badan usaha adalah perusahaan atau bentuk usaha, baik yang berbentuk badan hukum (misalnya perseroan terbatas) maupun bukan badan hukum, yang menjalankan suatu jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan untuk memperoleh laba.
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)Ketua dan Wakil Ketua Komisi dipilih dari dan oleh Anggota Komisi.
Ayat (2)Cukup Jelas
Ayat (3)Cukup jelas
Ayat (4)Perpanjangan masa keanggotaan Komisi untuk menghindari kekosongan tidak boleh lebih dari 1 (satu) tahun.
Pasal 32
Huruf aCukup jelas
Huruf bCukup jelas
Huruf cCukup jelas
Huruf d Cukup jelas
Huruf eCukup jelas
Huruf fCukup jelas
Huruf gYang dimaksud dengan tidak pernah dipidana adalah tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berat atau karena melakukan pelanggaran kesusilaan.
Huruf hCukup jelas
Huruf iYang dimaksud tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha adalah bahwa sejak yang bersangkutan menjadi anggota Komisi tidak menjadi :
1. anggota dewan komisaris atau pengawas, atau direksi suatu perusahaan;
2. anggota pengurus atau badan pemeriksa suatu koperasi;
3. pihak yang memberikan layanan jasa kepada suatu perusahaan, seperti konsultan, akuntan publik, dan penilai;
4. pemilik saham mayoritas suatu perusahaan.
Pasal 33
Huruf aCukup jelas
Huruf bCukup jelas
Huruf cCukup jelas
Huruf dDinyatakan dengan surat keterangan dokter yang berwenang.
Huruf eCukup jelas
Huruf fDiberhentikan, antara lain dikarenakan tidak lagi memenuhi persyaratan keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud Pasal 32.
Pasal 34
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Yang dimaksud sekretariat adalah unit organisasi untuk mendukung atau membantu pelaksanaan tugas Komisi.
Ayat (3) Yang dimaksud kelompok kerja adalah tim profesional yang ditunjuk oleh Komisi untuk membantu pelaksanaan tugas tertentu dalam waktu tertentu.
Ayat (4)Cukup jelas
Pasal 35
Huruf aCukup jelas
Huruf bCukup jelas
Huruf cCukup jelas
Huruf dCukup jelas
Huruf eCukup jelas
Huruf fCukup jelas
Huruf gCukup jelas
Pasal 36
Hurtuf aCukup jelas
Huruf bCukup jelas
Huruf cCukup jelas
Huruf dCukup jelas
Huruf eCukup jelas
Huruf fCukup jelas
Huruf gYang dimaksud dengan penyidik adalah penyidik sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981.
Huruf hCukup jelas
Huruf iCukup jelas
Huruf jCukup jelas
Huruf kCukup jelas
Huruf lCukup jelas
Pasal 37
Pada dasarnya Negara bertanggung jawab terhadap operasional pelaksanaan tugas Komisi dengan memberikan dukungan dana melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Namun, mengingat ruang lingkup dan cakupan tugas Komisi yang demikian luas dan sangat beragam, maka Komisi dapat memperoleh dana dari sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang sifatnya tidak mengikat serta tidak akan mempengaruhi kemandirian Komisi.
Pasal 38
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Cukup jelas
Ayat (4)Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Cukup jelas
Ayat (4)Cukup jelas
Ayat (5)Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Yang diserahkan oleh Komisi kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan tidak hanya perbuatan atau tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (2), tetapi juga termasuk pokok perkara yang sedang diselidiki dan diperiksa oleh Komisi.
Pasal 42
Huruf aCukup jelas
Huruf bCukup jelas
Huruf cCukup jelas
Huruf dCukup jelas
Huruf eCukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Pengambilan keputusan Komisi sebagaimana dimaksud ayat (3) dilakukan dalam suatu sidang Majelis yang beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota Komisi.
Ayat (4)Yang dimaksud diberitahukan adalah penyampaian petikan putusan Komisi kepada pelaku usaha.
Pasal 44
Ayat (1)30 (tiga puluh) hari dihitung sejak diterimanya petikan putusan Komisi oleh pelaku usaha atau kuasa hukumnya.
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Cukup Jelas
Ayat (4)Cukup jelas
Ayat (5)Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Cukup Jelas
Ayat (4)Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf aCukup jelas
Huruf bPenghentian integrasi vertikal antara lain dilaksanakan dengan pembatalan perjanjian, pengalihan sebagian perusahaan kepada pelaku usaha lain, atau perubahan bentuk rangkaian produksinya.
Huruf c Yang diperintahkan untuk dihentikan adalah kegiatan atau tindakan tertentu dan bukan kegiatan usaha pelaku usaha secara keseluruhan.
Huruf dCukup jelas
Huruf eCukup jelas
Huruf fGanti rugi diberikan kepada pelaku usaha dan kepada pihak lain yang dirugikan.
Huruf gCukup jelas
Pasal 48
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Cukup jelas
Pasal 49
Huruf aCukup jelas
Huruf bCukup jelas
Huruf cCukup jelas
Pasal 50
Huruf aCukup jelas
Huruf bCukup jelas
Huruf cCukup jelas
Huruf dCukup jelas
Huruf eCukup jelas
Huruf fCukup jelas
Huruf gCukup jelas
Huruf hPelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil adalah sebagaimana dimaksud Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
Huruf iYang dimaksud dengan melayani anggotanya adalah memberi pelayanan hanya kepada anggotanya dan bukan kepada masyarakat umum untuk pengadaan kebutuhan pokok, kebutuhan sarana produksi termasuk kredit dan bahan baku, serta pelayanan untuk memasarkan dan mendistribusikan hasil produksi anggota yang tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3817

Dampaknya terhadap usaha kecil dan menengah

Pengertian Antimonopoli dan Persaingan Usaha
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.


A. Asas dan Tujuan Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.


B. Kegiatan yang dilarang dalan antimonopoly
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2.Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.


C. Perjanjian yang dilarang dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5/199 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.
Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam bab IV dari Undang-Undang Anti Monopoli . Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebgai berikut :
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar neger
Perjanjian yang dilarang penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan
– Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasivadari Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan beralih karena hukum kepadaPerseroan/Badan Usaha yang menerima Penggabungan dan selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
– Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan/Badan Usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
– Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau aset Perseroan/Badan Usaha. yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan/Badan Usaha tersebut
Terdapat sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan dari aturan UU No. 5/1999 (sebagaimana diatur di pasal 50 dan 51 UU No.5/1999). Sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan tersebut berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya karena dimungkinkan munculnya penafsiran yang berbeda-beda antara pelaku usaha dan KPPU tentang bagaimana seharusnya melaksanakan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut tanpa melanggar UU No. 5/1999. Bisa jadi suatu perjanjian atau suatu kegiatan usaha dianggap masuk dalam kategori pasal 50 UU No. 5/1999 oleh pelaku usaha, tetapi justru dianggap melanggar undang-undang oleh KPPU. Oleh karena itu, perlu adanya ketentuan lanjutan yang lebih detil mengatur pelaksanaan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut demi menghindarkan salah tafsir dan memberikan kepastian hukum baik bagi pengusaha maupun bagi KPPU. Sebagaimana dapat dibaca di pasal 50 dan 51, aturan tentang sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut masing-masingnya diatur dengan sangat singkat, dalam satu kalimat saja.


D. Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
(1) Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang terdiri dari :
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
(2) Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
(a) Monopoli
(b) Monopsoni
(c) Penguasaan pasar
(d) Persekongkolan
(3) Posisi dominan, yang meliputi :
(a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
(b) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
(c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
(d) Jabatan rangkap
(e) Pemilikan saham
(f) Merger, akuisisi, konsolidasi


E. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
1. Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
2. Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
1. Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
2. Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
3. Efisiensi alokasi sumber daya alam
4. Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
5. Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
6. Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
7. Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
8. Menciptakan inovasi dalam perusahaan


F. Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.

Daftar pustaka:

http://halim-livinglaw.blogspot.com/2009/02/undang-undang-anti-monopoli.html

http://meirsyahnp.blogspot.com/2011/04/undang-undang-anti-monopoli-dan.html